Dalam
menghadapi persaingan pariwisata yang semakin seru disebabkan berbagai
hambatan, seperti kondisi sosio-politik, stabilitas ekonomi, baik yang datang
dari dalam maupun dari luar, upaya meningkatkan daya saing pariwisata
memerlukan kiat tertentu, yaitu dengan menyikapi dan menanggapi atas analisis
Index Dayasaing Pariwisata 2009 dari World Economic Forum (WEF).
Untuk
menyikapi Index Dayasaing Pariwisata tersebut, terlebih dahulu perlu mengetahui
bagaimana WEF memberikan penilaian Index Dayasaing Pariwisata (Travel &
Tourism Competitiveness Index – TTCI) yang terdiri dari tiga kelompok sub-index
yang terbagi lebih rinci dalam 14 pillar. Dalam daftar berikut dapat dilihat negara-negara
yang menempati urutan pertama berikut nilainya dalam masing-masing pillar –
dibandingkan dengan nilai Indonesia dalam masing-masing posisinya. Daftar ini
dapat digunakan sebagai Tolok Ukur dalam upaya peningkatan daya saing
pariwisata Indonesia.
Menempati kedudukan ke-81 di antara 133 negara di dunia, Indonesia berada di posisi ke-15 dari 25 negara di kawasan Asia Pasifik dan ke-5 di antara 8 negara ASEAN (yang ikut dinilai).
Dalam hal
kekuatannya, Indonesia menempati kedudukan ke-28 dalam hal kekayaan alamnya,
karena dukungan beberapa obyek wisata Warisan Dunia serta kekayaan faunanya
yang dinilai melalui spesies yang terkenal sebagai miliknya.
Sementara
itu, kekayaan kebudayaan Indonesia menduduki tempat ke-37 dengan dukungan lima
Situs Warisan Dunia dan sejumlah pekanraya dan pameran internasional yang
diselenggarakannya serta industri kreative yang kuat.
Selain itu,
Indonesia menempati kedudukan ke-3 dalam hal “Harga yang Bersaing” dalam
industri pariwisata, karena harga hotel yang bersaing (di tempat ke-7), pajak
tiket dan jasa bandara (airport charges) yang rendah dan harga BBM yang terjangkau.
Kemudian dalam hal prioritas kepariwisataan, Indonesia menempati posisi ke-10. Lihat TABEL dan
GRAFIK.
Namun
demikian – kita harus mengakui juga – bahwa kekuatan ini “teredam” oleh
kelemahan yang ada, seperti rendahnya pembangunan prasarana, termasuk sejauh
menyangkut penerbangan (posisi ke-60), dan transportasi darat (di tempat
ke-89), prasarana pariwisata (ke-88) dan prasarana ICT – Internet & Communication
Technology (ke-120). Selain itu, masih terdapat beberapa persoalan yang
tertunda, terutama “kurangnya kepercayaan” pada pelayanan polisi serta
tingginya kematian pada kecelakaan lalulintas. Di atas semua itu,
Indonesia dinilai tidak memprioritaskan “Pembangunan Pariwisata Berwawasan
Lingkungan” – sustainable development of the tourism -, di posisi ke-130,
terutama dalam hubungannya dengan “ketergantungan” sektor pariwisata pada
kualitas lingkungan alamnya.
Dengan cara
mengenali kelemahan-kelemahan itu, WEF berharap tiap negara tujuan wisata, –
termasuk Indonesia -, dapat mengambil berbagai langkah koreksi yang diperlukan
untuk meningkatkan daya saingnya masing-masing.
Tidak dapat
diingkari, – karena komplexitasnya, upaya peningkatan dayasaing pariwisata memerlukan
kerjasama dan koordinasi yang harmonis, solid dan konsisten, baik vertikal –
antara pusat dengan daerah, maupun horizontal – antara pemerintah, swasta
maupun masyarakat pada umumnya. Satu dan lain hal, mengingat bahwa pengembangan
serta peningkatan daya saing pariwisata memerlukan keterlibatan instansi lintas
sektoral dengan pertimbangan dan pemikiran multi disiplin.
Jika hal itu
tidak tercapai, patut diragukan pariwisata Indonesia akan mampu memenangkan
persaingan di kancah persaingan pariwisata dunia.
Semoga hal
itu tidak terjadi, terutama mengingat momentum yang baik, – di saat kita
menghadapi pembentukan Kabinet Pemerintah yang baru -, diharapkan
kepariwisataan mendapat tempat pada prioritas yang selayaknya. MENGAPA? Karena
secara alami, kepariwisataan memiliki potensi sebagai sumber pendanaan yang
bermanfaat bagi sektor lainnya seperti pendidikan, kesehatan, pengembangan dan
pemeliharaan seni budaya, prasarana dsb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar